Balawan: Musik Dunia, Idealisme, & Nasionalisme


Bagi seorang musisi, idealisme dan selera pasar adalah paradoks yang lumrah dihadapi. Musik idealis yang memerlukan teknik dan kemampuan musikalitas tinggi memiliki jumlah pendengar tidak lebih banyak daripada musik pop kebanyakan yang mudah dicerna orang pada umumnya. Untungnya, masih ada musisi-musisi yang dengan cerdas mampu menyeimbangkan idealisme bermusik sembari berkompromi dengan selera pasar. Balawan salah satunya. Bersama Batuan Ethnic Fusion, ia menggelar konser dalam rangka ‘World Music Festival’ di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (10/12) malam. Balawan tampil dengan permainan gitar yang memukau sambil sesekali memamerkan keindahan suaranya dengan bernyanyi scat. Sementara Batuan Ethnic Fusion memainkan bunyi-bunyian tradisional khas Bali, yang berpadu manis dengan suara gitar Balawan yang seringkali dimainkan dengan touch technique (tapping technique), menggunakan 8 jari yang menyerupai piano.

Konser dibuka dengan lagu berjudul ‘Nasi Goreng Capcay’ lalu dilanjutkan dengan ‘Guitamelan’, yang merupakan singkatan dari perpaduan guitar & gamelan. ‘Spirit of Rhythm’ adalah nomor favorit penulis karena dipenuhi ketukan syncope yang terdengar bersemangat sekaligus menggelitik. Banyak juga bintang tamu luar biasa malam itu, seperti : Didiet (violinist), Dion Subiakto (drummer), Arya Setiadi, dll. Beberapa lagu lain yang ditampilkan adalah ‘Morning Alarm’, ‘See You Soon’, ‘Pasar Malam’, dan sebuah lagu berbahasa Bali yang dibawakan secara spontan oleh seorang sahabat kecil Balawan, bernama Liana.

Balawan sendiri tampil komunikatif, humoris dan menghibur sambil terus-terusan mempromosikan album terbarunya yang akan release awal tahun 2009 (semua lagu yang ditampilkan malam itu termasuk dalam album barunya). Sebuah lagu ciptaan Dewiq, yang adalah pencipta lagu pop terpopuler saat ini, pun digunakan Balawan sebagai strateginya untuk lebih bisa diterima telinga orang banyak. Lagu dengan nuansa lawas ini terdengar kontras dibandingkan lagu-lagu lainnya yang kaya akan bunyi perkusif dan chord-chord ‘sulit’. Saya pribadi merasa Balawan lebih bagus bernyanyi jazz dengan sesekali ber-scat ria dibandingkan jenis lagu pop berirama konstan.

Toh usaha berdamai dengan pasar ini harus dipuji, mengingat pilihan menjadi musisi idealis adalah sebuah pilihan yang tidak gampang. Hal ini diakui Balawan yang sempat bercerita di panggung kalau musik yang diusungnya bersama teman-teman masa kecilnya di Batuan Ethnic Fusion ini lebih diterima dunia internasional daripada di Indonesia sendiri. Ia juga prihatin dengan kondisi anak muda di Bali saat ini yang lebih memilih berkarir di bidang pariwisata daripada menekuni musik tradisional. Semangat idealisme dan nasionalismenya itu terdengar jelas dari konser berdurasi lebih kurang 2 jam ini. Walaupun kursi-kursi penonton yang tidak terisi penuh memperlihatkan kalau world music memiliki penonton yang sangat tersegmentasi, Balawan dan Batuan Ethnic Music tetap memilih setia pada idealisme sambil memelihara musik tradisional Bali. Mengingat ragam musik nusantara yang sangat kaya, saya jadi terusik dan berharap semoga akan lahir Balawan-Balawan lain dari luar Bali yang peduli agar musik daerahnya bisa lestari.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Balawan: Musik Dunia, Idealisme, & Nasionalisme"

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan Baik dan Sopan..